Perihal Kita dan Sesudah Kita

Gitasya Ananda
4 min readApr 11, 2021

--

Saat berbincang soal kematian, subjek yang paling melekat bagi sebagian besar orang adalah akhirat, surga-neraka. Eksekusi alam baka, yang mendeterminasikan kamar mana yang akan kita singgahi sebagai tempat terakhir jiwa kita akan berlabuh.

Selain keresahan akan permintaan pertanggungjawaban atas tindak-tanduk kita selama di dunia, ketakutan yang muncul dari kematian berasal dari konsepsi yang memahaminya sebagai ketiadaan. Padahal kematian bukanlah ketiadaan, melainkan perkembangan dan perpindahan. Kematian adalah noneksistensi, hanya saja ia bukan bersifat mutlak. Kematian adalah noneksistensi relatif, yakni noneksistensi dari satu tahap demi eksistensi ketahap lain.

Kendati kebanyakan dari kita menatap kematian dengan ketakutan dan kesedihan, sempat terlintas di benak saya untuk memahami kematian sebagai suatu pengalaman akan kedamaian dan kebebasan.

Dalam kematian, kita lupa pada semua keterbatasan jasad (fisik) ini dan menyadari betapa bebasnya kita. Sebuah bentuk kesadaran agung datang dan sang jiwa merasakan suka-cita karena lepas dan bebas. kita menyadari bahwa kita eksis terpisah dari jasad efemeral ini.

Diri-Jati kita, Sang Atman, bersifat kekal. Kita boleh jadi tertidur untuk sementara waktu dalam suatu kesempatan yang disebut kematian, namun kita tak pernah bisa dihancurkan.

Jasad kita ketika dikuburkan, sel-sel tubuh kita akan menjadi nutrisi untuk bakteri dan organisme tanah lainnya. Tulang-tulang kita akan membusuk menjadi mineral, yang kemudian menjadi humus untuk membantu kesuburan tanah.

Atom-atom dalam tubuh kembali menjadi bagian alam.
Energi dalam tubuh kita dilepas menjadi sumber energi kehidupan lain.
Atom dan partikel dalam tubuh akan membentuk organisme lain.
Kematian kita, kelak akan membawa bentuk kehidupan baru.

Seperti probabilitas ujung jarimu terbentuk dari sisik Spinosaurus dari 155 atau 145 juta tahun yang lalu, atau kemungkinan daun telingamu terbentuk dari kelopak mata Nefertiti atau mungkin anaknya, Ankhesenamun. Material tidak bisa diciptakan ataupun dihancurkan, menurut Hukum Kekekalan Massa atau yang juga disebut sebagai LomonosovLavoisier yang diformulasikan oleh Antoine Lavoisier pada tahun 1789.

Jiwa kita pun tetap eksis, dan eksistensi ini abadi. Layaknya ombak yang datang dan memecah di pantai, untuk kemudian kembali lagi ke laut; ia tidak hilang, melainkan hanya bersatu lagi dengan samudera, dan kembali lagi dalam wujud ombak-ombak lainnya. Jasad ini telah datang, ia akan terkikis dan digantikan oleh kehidupan baru; akan tetapi esensi jiwa di dalam tidak akan pernah berhenti mengada. Tak ada yang bisa memusnahkan kesadaran abadi itu.

Lucy (2014) dir. Luc Besson.

Dalam film Lucy, terdapat ujaran yang berbunyi, “We never really die.” Pernyataan tersebut erat kaitannya dengan konsep Vishishtadvaita di mana kematian hanya mengarah pada bergabungnya kembali dengan singular reality (realitas tunggal). Lucy menggunakan pendekatan konsep filosofis Hindu, yang menjelaskan bahwa dirinya telah menjadi bagian dari realitas tunggal dan tidak membutuhkan tubuh fisiknya lagi.

Ketakutan akan kehidupan setelah kematian membuat beberapa orang kadang melupakan hakikat kehidupan itu sendiri. Baiklah, kita letakkan dulu klaim agamis di bangku sebelah. Nanti kita ambil lagi, jika dirasa perlu.

Banyak dari kita cenderung menomor-duakan hidup yang jelas-jelas sedang dijalani saat ini, “menabung untuk akhirat,” katanya. Banyak lagi orang pamrih yang melakukan hal-hal baik karena ingin mendapat tempat di surga. Saya tidak menganulir bahwa selain kaum agamis-yang-gila-alam-baka ada orang yang benar-benar tulus melakukan kebaikan.

Saya pernah berpikir, ketika saya bersedekah kepada pengemis, memberikan satu paket McD kepada seorang tunawisma di trotoar padahal saya sendiri sedang lapar, membantu orang yang sedang kesusahan, dan lain sebaginya, apa itu murni ketulusan hati? Saya rasa tidak. Lagi-lagi kita melakukan segalanya untuk ego. Segala bentuk altruisme didorong oleh alasan egois. Saya merasa senang karena membantu orang lain, maka saya membantu orang lain untuk menyenangkan diri saya sendiri.

Saya merasa kasihan melihat anak kecil yang minta-minta di jalan, perasaan iba dan empati saya mendorong saya untuk berbuat sesuatu, saya membantu anak itu bukan murni untuk dia, tetapi saya merasa uneasy terhadap saya dan perasaan saya sendiri. Hal serupa terjadi ketika kita terlalu mencintai seseorang, kebahagiaannya adalah kebahagiaan saya juga, maka saya membahagiakan dia karena hal itu membahagiakan saya, bukan murni ingin membuatnya bahagia.

Apa ada orang yang benar-benar tulus berbuat baik?

Hasrat untuk menyenangkan hati orang lain erat sekali kaitannya dengan hasrat untuk menyenangkan diri sendiri. Apalagi bagi mereka yang digerakkan oleh pengetahuan bahwa, menyenangkan hati orang lain akan mendapatkan pahala berupa kesenangan pula — kalau tidak dalam kurun kehidupannya saat ini, ya sesudah ini. Atas pengharapan itu, layaknya menabung untuk mendapat imbalan surga, mereka berlomba-lomba menyenangkan hati orang lain. Jadi secara terselubung itu hanyalah perbuatan menyenangkan diri sendiri, untuk melayani ego semata. bukan berasal dari kemurahan-hati atau kebaikan-hati.

Jika surga dan neraka tak pernah ada, akankah manusia tetap termotivasi untuk berbuat baik?

Kembali ke topik akhirat. Konsepsi akhirat sebagai dunia transendental dan adikodrati memang kurang-lebih sama disetiap kultur dan kepercayaan. Seperti Elysium dan Tartaros di kepercayaan Yunani dan Romawi Kuno yang mendekati konsep Surga dan Neraka dari agama-agama Abrahamik. Lalu ada Gilgul dari cerita rakyat Yahudi yang mirip konsep reinkarnasi dari agama Hindu dan Buddha, dan sebagainya.

Kita bebas mengekstrak konsep tentang apa yang akan terjadi setelah kita meninggal, dan bebas mengklaim konsepsi agamamu terhadap akhirat jauh lebih indah dari agama lain. Ada salah satu konsep kematian yang disuguhkan oleh Ajahn Amaro, seorang biksu dan guru Buddha Theravāda:

Manakala kita menatap yang tak dikenal dan mengabaikan rasa kedirian, maka yang tak dikenal itu berubah dari menakutkan menjadi sesuatu yang misterius, penuh dengan ketakjuban. Batin dibiarkan dalam keterheranan, bukannya teror. Transmutasi inilah yang membebaskan, ia memerdekakan …”

--

--